Terakhir diperbarui 4 Oktober, 2024
Layar.id – Pada hari penutupan Jakarta World Cinema 2024, tim Layar.id berkesempatan untuk menyaksikan screening film The Paradise of Thorns tanggal 28 Oktober 2024. Kali ini, tim Layar.id akan review film The Paradise of Thorns.
Film asal Thailand ini menceritakan tentang dua pasangan yang memiliki usaha perkebunan durian, yang ternyata pada akhirnya perkebunan tersebut justru menimbulkan banyak masalah bagi keduanya. Serunya, masalah yang melingkupi perkebunan itu tidak hanya masalah mengenai cinta, tetapi juga keluarga, kerabat, hingga warisan!
Oke, Review Film The Paradise of Thorns merupakan film garapan rumah produksi Gross Domestic Happines atau lebih terkenal dengan nama GDH. Aktor utama yang berperan dalam film ini adalah Jeff Satur dan Engfa Waraha. Yang bikin lebih semangat lagi, bahkan di hari terakhir Jakarta World Cinema 2024, jumlah penonton The Paradise of Thorns hampir mencapai full house, lho!
Hmm… mengingat film-film jebolan GDH tuh nggak ada yang kureng, tim Layar.id berekspektasi tinggi saat masuk ke studio. Salah satunya adalah film Thailand yang berhasil menjadi film Thailand paling laris sepanjang masa di Indonesia, yaitu How To Make Millions Before Grandma Dies.
Baik, berikut review tim Layar.id untuk film The Paradise of Thorns! Ini akan menjadi review yang panjang.. dan pastinya mengandung spoiler.
Review Plot The Paradise of Thorns: Riil Kebanyakan Duri
Dua kata untuk plot film karya Naruebet Kuno ini.
Manis dan menusuk.
Baru 10 menit awal penayangan, film ini bener-bener menghebohkan satu studio! Mungkin ada kaitannya dengan aktor yang menjadi peran utama di film ini, yaitu Jeff Satur yang memerankan Thongkam. Thongkam adalah pemilik lahan perkebunan durian yang ia jalani bersama kekasihnya, Sek.
Lahan perkebunan yang sebelumnya masih dalam proses cicilan, akhirnya dibayar lunas oleh Thongkam sebagai rasa terima kasihnya pada Sek. Sebagai gantinya, Sek melamar Thongkam dan mengajaknya untuk ke jenjang hubungan yang lebih serius. Keduanya pun menikah dan tinggal di sebuah rumah dekat lahan perkebunan durian itu.
Perlu diketahui, couple utama dalam film ini adalah gay couple. Meskipun begitu, orientasi seksual pasangan ini berkaitan erat dengan jalannya cerita. Terutama soal perkebunan dan warisan yang ditinggalkan oleh Sek.
Kita bahas ke sisi hukumnya dulu, deh. Dalam film, dijelaskan bahwa pernikahan sesama jenis itu tidak diakui oleh sistem hukum Thailand. Jadi, pernikahan Sek dan Thongkam hanya sebatas pengakuan semata, bukan yang benar-benar tercatat di negara gitu, loh.
Pada suatu malam, Sek terjatuh dari satu pohon durian dan mengalami luka fatal di bagian kepalanya. Hal ini menyebabkan Sek harus menjalani operasi. Malang bagi Thongkam, ia tidak bisa menandatangani surat persetujuan operasi.
Karena di laporan kecelakaan Sek, status Thongkam tertulis sebagai TEMAN, bukan keluarga atau suami. Yang artinya, dia gak punya hak apa-apa, dong?
Jadi, yang bisa menandatangani surat tersebut adalah keluarga Sek, yakni ibunya, Saeng. Saeng dan Mo, seorang wanita pengurus Saeng (semacam caregiver gitu) berangkat dari rumah mereka ke rumah sakit. Sialnya, mereka mengalami kecelakaan ringan di jalan.
Sek pun meninggal dunia karena kehabisan waktu. Walah.. 🙁
Complications After Complications
Di sinilah kapan titik situasi mulai memanas. Kematian Sek justru membuka masalah-masalah baru, sekaligus fakta bahwa Sek meninggalkan DUA kekasih saat ia meninggal. Waduh! Kok bisa?
Omong-omong, saat tahu fakta ini, saya langsung sakit kepala ngikutin plot cerita yang makin lama makin complicated.
Ingat perihal nama Sek yang diubah Thongkam sebagai pemilik lahan perkebunan durian itu? Yep, Saeng dan Mo jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Saeng meminta untuk tidur di rumah milik Sek dan Thongkam. Tapi, sebenarnya kedatangan Saeng hari itu untuk menguasai rumah dan perkebunan warisan Sek yang telah jatuh ke tangannya.
Yang menarik bagi saya, cerita ini benar-benar terkemas dengan berbagai sudut pandang yang menarik. Thongkam tidak bisa tinggal di rumah dan mengurus lahan perkebunannya sendiri karena dua hal itu sudah dikuasai oleh penerima warisan, yaitu Saeng. Sedangkan dari sisi hukum, tindakan Saeng memang nggak salah. Jika seseorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan istri, maka warisannya akan jatuh ke tangan ibunya.
Tapi, coba bayangin gimana rasanya ada di posisi Thongkam? Baru aja nikah, suaminya meninggal, eh perkebunan dan rumahnya yang ia bangun dari nol malah jatuh ke tangan orang lain. Di sisi lain, Thongkam gak bisa berbuat banyak, karena semua yang terjadi memang sesuai sama hukum dan ketentuan yang berlaku.
Perebutan warisan ini sampai maju ke pengadilan. Ya… hasilnya sih, udah ketebak ya. Thongkam tetap tidak mendapatkan apa yang ia perjuangkan. Jujur gregetan banget, dan rada frustasi ngikutin ceritanya. Simpati secara psikologis yang nular dari pengalaman Thongkam jago banget bikin satu studio ngumpat-ngumpat kesal. Hahaha!
Bukan cuma itu aja. Rupanya, Mo yang merupakan caregiver Saeng, adalah kekasih Sek yang juga sempat janji akan dinikahi oleh Sek, tapi malah ditinggalin. Ih, nyebelin banget ya si Sek? Mo sendiri udah minta putus sampai nangis-nangis, tapi Sek yang menahan Mo supaya tetap tinggal bersamanya. Alasannya?
Sek membutuhkan Mo untuk mengurus ibunya, Saeng, selama ia mengambil keuntungan dari perkebunan duriannya DAN hubungannya bersama Thongkam. WHAT?
Sisi Manis Kebun Durian
Nih film bener-bener nggak ngasih napas buat penonton. Secara psikologis, maksudnya. Alur berjalan secara gradually dan terus membuat saya menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang bikin gregetnya tuh, alur filmnya nggak ketebak sama sekali. Rasa kesal dan gemes terus meningkat sedikit demi sedikit selama saya menonton.
To put it simply, if you think one scene was stressful enough, wait until you watch the next scene.
Tapi, selain masalah warisan, ada lagi bumbu baru dalam cerita yang mengundang reaksi penonton, a.k.a jejeritan dan lengkingan heboh dalam studio. Untuk yang satu ini, bolehlah kita sebut sebagai pemanisnya buah durian.
Karakter-karakter yang menjalani plot dengan penuh komplikasi, pada akhirnya menemukan poin-poin character development mereka masing-masing. Salah satunya Thongkam dan kisah cintanya yang rusak gara-gara mendiang suaminya.
Jadi, ternyata Mo memiliki seorang saudara bernama Jingna. Awalnya, Jingna ini datang untuk membantu Mo dan Saeng mengelola perkebunan durian. Jingna membantu Thongkam di kebun dalam urusan perdurenan. Lama kelamaan, Jingna malah jatuh cinta sama Thongkam.
Sungguh plot twist.
Bagusnya, the Paradise of Thorns nggak cuma nunjukin sisi kefrustasian Thongkam dalam merebutkan haknya sebagai pemilik kebun durian. Sebagai penyembuh lukanya, hadirlah Jingna yang bisa membantu Thongkam menyembuhkan luka hatinya setelah mengetahui fakta bahwa Sek memiliki kekasih selain dirinya, yaitu Mo.
Oh iya, bagaimana Thongkam bisa tahu? Jadi, waktu Thongkam dilamar, Sek memberinya suatu buket bunga kecil yang terbuat dari sayuran. Saat Thongkam datang ke rumah Saeng, Thongkam menemukan banyak buket bunga sayur terpajang di dinding rotan. Sebagian besarnya pun sudah layu. Mo sendiri pernah mengatakan pada Thongkam bahwa Sek selalu datang ke rumah dan membuatkannya buket bunga sayur, sama seperti yang diterima Thongkam saat ia dilamar.
Gile juga lu, Sek.
Balik lagi ke sosok Jingna. Sebagai adik Mo sekaligus kekasih Thongkam, tokoh Jingna sendiri menunjukkan sisi karakter remaja yang rada lugu dan labil. Sejenak ia mengikuti segala kata-kata Mo, tapi besoknya ia sudah bersama Thongkam di “kamar” mereka. Peran Jingna lekat dengan usaha Thongkam dalam mempertahankan usaha perkebunan duriannya, juga sebagai plester bagi hati dan perasaan Thongkam.
Well, at least Thongkam has something sweet to taste, right?
Baca Juga: Fakta Menarik Not Friends, Film Persahabatan Bagus Banget!
Final Rating?
Di samping plot yang complicated dan bikin ngumpat-ngumpat, The Paradise of Thorns sukses menggambarkan berbagai asian value yang lengket banget sama latar belakangnya di negara Thailand. Contoh kecilnya seperti sejumlah scene perayaan adat, atau sebatas adegan menjemur cabe yang jadi tugasnya Thongkam.
Untuk karakter favorit, pilihan saya jatuh ke karakter Mo. Peran dan situasi karakter Mo sukses banget ngebuat saya kesal, sekaligus mengerti mengapa Mo bisa berbuat sedemikian rupa. Jadi ada love & hate relationship yang kuat sama karakter ini. Perempuan yang terpaksa mengurus (bukan) orangtua kandungnya karena iming-iming menikah dan tidak punya apa apa. Situasi yang pastinya banyak terjadi di negara-negara Asia.
Tambahan lagi, dalam beberapa kesempatan, Mo tidak mendapat perhatian dan penghargaan dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini yang memicu Mo melakukan apapun untuk setidaknya, memberikan porsi bagi dirinya sendiri.
Jadinya Seperti apa?
To be very honest, tim produksinya jago banget dalam mengolah karakter Mo dan Thongkam menjadi suatu duo yang… menusuk. Posisi mereka sama-sama kuat dan sama-sama frustasi, in their own stories. Mau marah sama Mo, tapi tindakan dia mostly reasonable. Serbasalah banget jadi Thongkam, ya.
Oke. Dari segi plot, sinematografi, dan karakter-karakternya, tim Layar.id memberikan skor 9/10 untuk film The Paradise of Thorns!
Jadi Review The Paradise of Thorns menghantarkan simbolisme durian dalam makna yang paling tepat; tajam di luar, lembut di dalam. Thongkam & Mo adalah sepasang duri dalam daging, yang pada akhirnya menemukan cara untuk menikmati rasa manisnya masing-masing.
Karya yang dimuat ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi layar.id.